Sabtu, 16 Mei 2009

JANJI YANG HILANG

By Unknown   Posted at  5/16/2009 11:22:00 AM   cerpen No comments

Aku terhentak. Saat itu aku merasa sebagai orang paling bodoh di dunia. Ya, mengapa aku tak mengatakannya dari dulu?
Aku melirik sekilas ke arah jam digital yang berpendam muram di dashboard mobil sedan tuaku. Sudah 2 jam aku menempuh perjalanan ini. Hanya berhenti dua kali saat aku makan sedikit roti dan pergi ke belakang. Sisanya aku habiskan di belakang setir dengan keinginan yang menggebu untuk bisa sampai secepatnya. Karena tenggat waktuku adalah nanti malam. Nanti malam, atau tidak selamanya..
Ini adalah janji yang aku dan Delima ucapkan empat tahun yang lalu. Tepatnya, beberapa jam lagi hingga pukul sepuluh malam nanti. Sebuah janji yang kami ucapkan di bawah langit yang diselimuti berjuta bintang, di sebuah cafe di resort perbukitan yang asri di kawasan Malino. Dan ke sanalah tujuanku sekarang.

Aku masih ingat kejadian malam itu secara menditel, seakan-akan kejadian itu baru terjadi kemarin. Aku ingat gaun merah marun klasik yang membuat Delima semakin cantik. Semakin sempurna. Dan aku, semakin tergila-gila padanya. Gaun itu pula yang membuat Delima kedinginan, membuat aku dengan sukarela memberikan jaketku malam itu untuk disampirkan di bahu indahnya. Hal itu juga yang membuatku masuk angin esok harinya, namun bagiku itu tidak masalah.

Aku ingat rona merah muda di pipi gadis cinta pertamaku itu saat aku menyibak rambutnya yang terjatuh menutupi matanya. Aku ingat senyum itu. Senyum yang paling indah. Yang aku tahu, tak akan pernah bisa kulupakan seumur hidupku.

Cafe itu terletak agak jauh dari keramaian, yang justru membuatnya istimewa karena ketenangan yang luar biasa yang melingkupinya. Lokasi itu pulalah yang menyingkirkan polusi cahaya dari kawasan perkotaan yang gemerlap dan menyuguhkan pertunjukan langit malam sejuta bintang yang mempesona.
Delima menggigil pelan. Aku tersenyum, dengan cepat membuka jaketku dan menyampirkannya di bahu Delima. Gadis itu menunduk malu. Saat aku sibak lembut rambut yang menutupi matanya, aku melihat rona merah muda di pipinya yang membuatku semakin mencintainya. Dan ia tersenyum, aku hanya bisa menatapnya dan berkata “Aku mencintaimu...”



Aku ingat Delima membalas tatapanku dengan tajam. Ia kembali tersenyum malu. Aku rasa ia sempat melihat rona di pipiku saat kata-kata yang telah tiga tahun kupendam itu terucap begitu saja di tengah suasana sejuta bintang yang sangat romantis itu.
“Aku mencintaimu,” aku mengucapkannya lagi, “Dan aku ingin bersama kamu, selamanya....”
“Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku sebelumnya?” Delima mulai berkaca-kaca.
Aku menatapnya bingung. Mengapa ia menangis?
“Kamu akan pergi ke Jogja. Besok,” katanya seakan bisa membaca pikiranku, “Dan aku akan tinggal di sini. Sendiri...” ucap Delima sambil terisak.

Aku terhentak. Saat itu aku merasa sebagai orang paling bodoh di dunia. Ya, mengapa aku tak mengatakannya dari dulu? Bukankah aku sudah jatuh cinta padanya bahkan sejak pandangan pertama saat kami tak sengaja saling menatap di acara sekolah?, Mengapa aku harus membuatnya bersedih?, Bukankah aku akan pergi besok dan meninggalkannya di sini, sendiri...?.
“Aku akan kembali,” aku menggenggam tangannya.
Kurasa kami berdua sama-sama terkejut atas kespontananku barusan.
“Tunggu aku. Aku akan kembali.”
Air mata jatuh di pipi Delima, “Dan aku akan menunggu...”

Aku tersenyum menatap langit. Suasana cafe selama empat tahun terakhir sudah banyak berubah. Mungkin, terutama karena dulu aku hanyalah seorang anak SMA yang baru melihat dunia dan kini aku adalah seorang sarjana yang telah memiliki pandangan yang lebih matang mengenai kehidupan. Tapi sebanyak apa pun aku berubah, setegap apa pun tubuhku kini dan selebat apa pun brewok tipis yang kini sedang kupelihara, aku tahu bahwa satu hal tak akan berubah. Rasa cintaku pada Delima. Gadis sejuta bintangku. Yang akan selalu menungguku.

Aku telah datang untukmu, aku tersenyum. Sebentar lagi. Tinggal beberapa menit lagi aku akan bertemu Delima, sang gadis pujaan hatiku. Cinta pertamaku yang kuharap akan menjadi cinta terakhirku pula. Sekali lagi aku tersenyum. Jemariku bermain menelusuri sebuah cincin berlian sederhana yang telah kusiapkan untuk Delima semenjak lama. Aku sudah menunggu dengan sabar. Dan sebentar lagi, kami akan bertemu.

***

Delima memandang keluar jendela, ke arah langit malam. Benar-benar sempurna. Malam sejuta bintang. Persis seperti saat janji itu terucap, empat tahun yang lalu... Delima kembali menatap jam dengan gelisah.
”Ya Tuhan, apakah ia benar-benar akan datang?”

Delima menghela napas. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa dirinya telah terlalu lama berharap dan bermimpi untuk suatu hari lelaki itu akan kembali datang dan menepati janjinya. Namun, entahlah... Empat tahun sudah, tanpa surat, tanpa kabar.

Delima menghela napas, mencoba menghilangkan perih luka yang menyayat dalam di relung hatinya.
”Pergi, tolong pergi... Ini yang terbaik bagimu. Bagiku. Bagi kita berdua”

Jam berdentang sebelas kali. Tepat di dentangnya yang ke sebelas, Delima merasa beban berat itu telah terangkat dari pundaknya.
”Kini, ia pasti telah pergi...”

Delima mengusap air matanya. Ia menghampiri wastafel dan membasahi mukanya, sekedar berharap air dingin akan menyamarkan sembab di matanya. Setelah mengeringkan wajah dengan handuk, Delima melangkah keluar sambil tersenyum.
Rumah gelap gulita. Semua telah tidur semenjak tadi. Tapi Delima tetap terjaga. Ia harus menunggu. Setidaknya, sampai semua ini berakhir.
“Belum tidur, Sayang?”
Delima tersentak kaget. “Aku habis ke WC,” jawab Delima lirih. Lelaki itu tersenyum.
“Tidur lagi, ya? Besok aku kerja pagi-pagi. Sini.”
Delima merelakan tubuhnya tenggelam dalam rengkuhan hangat lelaki yang kini telah setahun menikahinya. Beberapa saat kemudian, lelaki itu telah pulas terlelap. Namun Delima terus terjaga. Ia terus dihantui kejadian itu. Janji itu.

Delima mendesah. Keputusan telah ia buat. Semoga untuk yang terbaik. Kisah inilah yang kini harus dijalaninya. Kini dia telah menjadi milik orang lain. Sementara jam sepuluh tepat, empat tahun yang lalu, di sebuah cafe outdoor kecil yang menyuguhkan pemandangan sejuta bintang di sebuah bukit di Malino bukanlah kisahnya.
Delima pernah menjadi bagian dari kisah itu.
Namun kini, kisah itu telah hilang.
Hidup harus tetap berjalan.

***

Aku kembali menatap jam. Jam duabelas tepat, aku menutup boks cincin itu dengan kecewa, Delima tak datang, ia tak akan pernah datang. Harusnya aku tahu ini. Ini hanyalah sebuah janji masa kecil saat aku mengalami cinta monyet. Mungkin Delimapun tak pernah menanggapinya dengan serius. Aku harusnya tahu.

Aku kembali masuk ke dalam mobil dan menangis dalam diam.
“Ia tak akan datang. Ia tak akan datang...”
Jam berdentang dua belas kali.
Aku harus pergi.
Ataukah, harus kutunggu besok? Atau lusa? Sebulan? Setahun? Empat tahun lagi?
Atau Selamanya...?. (end)

(cerpen yang saya buat seenaknya..)

About the Author

Nulla sagittis convallis arcu. Sed sed nunc. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.
View all posts by: BT9

0 komentar:

top social

Back to top ↑
Connect with Us

    Kategori

    Kategori

    Diberdayakan oleh Blogger.

    Recent Comments

    Formulir Kontak

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengikut

    Bagaimana BLOG ini??

    top navigation

    CO.CC:Free Domain

    Pages

    Press

    Flickr Images

    Follow Us

    Free Page Rank Tool

    GosuBlogger

What they says

Blog Pemimpi Yang Senang Berbagi Informasi Yang Mungkin Kalian Butuhkan
© 2013 Dreamer Note. WP Mythemeshop Converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.